Wednesday, January 12, 2022

Tetap Istiqamah dan Teguh di Jalan Dakwah

Buletin Kaffah No. 226 (04 Jumadil Akhir 1443 H/7 Januari 2022 M)

Dakwah adalah jalan para nabi dan rasul Allah SWT. Tak ada seorang nabi dan rasul pun diutus oleh Allah SWT kecuali untuk berdakwah; menyampaikan risalah-Nya kepada umat manusia. 

Para nabi dan para rasul adalah orang-orang mulia. Mereka adalah manusia-manusia pilihan Allah SWT. Demikian pula tugas dakwah yang mereka emban. Sama-sama mulia. Begitu mulianya, tidak ada yang lebih baik daripada aktivitas dakwah. Allah SWT tegas berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang-orang yang menyeru (manusia) ke jalan Allah, beramal shalih dan berkata, “Sungguh aku ini termasuk kaum Muslim.” (TQS Fushilat [41]: 33).

Namun demikian, sebagai bagian dari sunatullah, jalan dakwah bukanlah jalan yang mulus. Jalan dakwah adalah jalan terjal, penuh onak dan duri. Jalan yang kadang mengundang bahaya. Karena itu tak sedikit yang berguguran di jalan dakwah. Namun, tidak demikian dengan para nabi dan para rasul. Tak ada satu nabi dan rasul pun kecuali mereka tetap istiqamah dan teguh di jalan dakwah. Salah satu contohnya adalah Nabi Nuh as. Beliau mendakwahi umatnya selama 950 tahun! (Lihat: QS al-Ankabut [29]: 14). Yang luar biasa, beliau mendakwahi umatnya siang dan malam! Namun begitu, sebagaimana kita ketahui, orang-orang yang berhasil beliau dakwahi tidak banyak. Para pengikut beliau sangatlah sedikit. Banyak yang tak peduli dan lari. Banyak pula yang menentang dakwah beliau (Lihat: QS Nuh [71]: 5-7).

Demikian pula Nabi Ibrahim as. dalam mendakwahi kaumnya. Tantangan dakwah beliau sangat berat. Bahkan beliau harus berhadapan dengan penguasa bengis, Raja Namrud. Akibat dakwah beliau, beliau harus rela dibakar dengan nyala api yang sangat besar yang mengepung beliau (Lihat: QS al-Anbiya’ [21]: 66-69). Tantangan dakwah juga dialami oleh Nabi Luth as., Nabi Musa as., dan para nabi/rasul yang lain.

Hal yang sama tentu juga dialami oleh Baginda Rasulullah saw. dan para Sahabat beliau. Hanya karena dakwah, Rasulullah saw., misalnya, pernah dipukul sampai pingsan (HR Muslim); dilempar dengan batu, dilempari saat melewati Pasar Dzul Majaz oleh Abu Lahab (HR Ibnu Hibban); dilempari dengan kotoran unta saat sedang sujud oleh Uqbah bin Abi Mu'ith (HR al-Bukhari); hendak diinjak lehernya oleh Abu Jahal saat beliau sedang shalat; diejek dan di-bully saat beliau berdakwah ke Thaif (HR Ibnu Hisyam); dicaci-maki bahkan diludahi (HR ath-Thabari); dituding gila, tukang sihir, pemecah-belah, dll. 

Hal yang sama dialami oleh para Sahabat beliau. Ragam penyiksaan, misalnya, dialami antara lain oleh suami-istri, yaitu Yasir dan Sumayah, serta putranya, Ammar. Ada juga Sahabat yang diikat, seperti dialami oleh Sa’id bin Zaid bin Amr bin Nufail dan ibunya (HR al-Bukhari). Ada yang ditekan oleh Ibunya, seperti dialami oleh Saad bin Abi Waqash (HR Ibnu Hibban). Ada yang dijemur di bawah terik matahari, seperti dialami Bilal bin Rabbah (HR al-Hakim). Ada yang dilarang tampil dan menyerukan dakwah secara terbuka, seperti dialami oleh Abu Bakar (HR al-Bukhari).

Rasulullah saw. dan para Sahabat juga pernah diboikot selama 3 tahun. Mereka tinggal di suatu lembah. Selama pemboikotan, banyak dari mereka yang kelaparan, terutama anak-anak (HR Ibnu Saad dan adz-Dzahabi). Beliau dan para Sahabat pun dihalang-halangi untuk berhijrah. Namun, semua itu tidak sedikit pun membuat mereka mundur dan surut dari jalan dakwah.

Arah Perjuangan Dakwah

Mengapa para nabi dan para rasul Allah SWT seluruhnya mengalami ragam tantangan, rintangan dan gangguan di jalan dakwah? Jawabannya setidaknya ada dua. Pertama, karena arah perjuangan dakwah mereka jelas dan tegas: menentang segala bentuk kekufuran dan kesyirikan; menentang rezim zalim; menentang sistem status quo yang notabene rusak dan merusak, yang bertentangan dengan risalah yang mereka emban. Itulah risalah tauhid. Risalah yang mengajari manusia agar menyembah dan mengabdi hanya kepada Allah SWT. Tentu dengan menjalankan dan menerapkan seluruh syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Dengan begitu yang berlaku di tengah-tengah manusia hanyalah agama-Nya. Allah SWT berfirman:

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا 

Dialah Allah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan kebenaran agar Dia menangkan atas semua agama. Cukuplah Allah sebagai Saksi (TQS al-Fath [48]: 28).

Kedua, tentu karena konsistensi, keistiqamahan dan keteguhan mereka di jalan dakwah. Tak ada sedikit pun sikap putus asa, gentar apalagi takut. Mereka pantang mundur dari jalan perjuangan di jalan Allah. Bahkan teror kaum kafir terhadap mereka semakin menambah keimanan kepada Allah SWT dan makin menguatkan keyakinan mereka akan pertolongan-Nya. Allah SWT berfirman:

الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ

Mereka ditakut-takuti oleh orang-orang yang berseru, “Sungguh orang-orang telah berkumpul untuk menyerang kalian. Karena itu takutlah kalian kepada mereka!” Namun, seruan itu malah makin menambah keimanan mereka. Mereka berkata, “Cukuplah Allah Penolong kami dan Dia adalah sebaik-baik Penolong.” (TQS Ali Imran [3]: 173).

Karena itulah, sebagaimana Rasulullah saw. dan para Sahabat, hendaknya para pengemban dakwah hari ini tetap fokus pada arah perjuangan dakwah mereka. Arah perjuangan dakwah yang hakiki tentu harus tertuju pada penegakan sistem kehidupan Islam atau penerapan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan.

Memelihara Sikap Optimis

Karena itu meski tantangan, rintangan dan gangguan di jalan dakwah sudah pasti terjadi, sudah selayaknya para pengemban dakwah tetap memelihara sikap optimis. Optimis bahwa pada akhirnya pertolongan Allah SWT akan segera tiba dan kemenangan dakwah akan segera datang. Sebabnya, pertolongan Allah SWT itu amat dekat. Demikian sebagaimana firman-Nya:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ

Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk surga, sementara belum datang kepada kalian seumpama yang pernah dialami oleh orang-orang sebelum kalian. Mereka ditimpa ragam kesulitan dan bahaya serta berbagai guncangan hingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersama beliau berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah sungguh pertolongan Allah itu amat dekat (TQS al-Baqarah [2]: 214).

Karena itu pula, agar kita selalu optimis: Pertama, harus ditanamkan ke dalam hati kita dan umat ini, bahwa Islam adalah agama yang haq, yang diturunkan oleh Allah SWT untuk mengatur seluruh kehidupan umat manusia (QS al-Maidah [5]: 3). 

Kedua, harus ditanamkan ke dalam hati kita dan umat ini, bahwa kita adalah umat terbaik (QS Ali ‘Imran [3]: 110). Karena itu Allah menetapkan kita dan umat ini sebagai pemimpin dunia, dengan membawa peradaban Islam yang sempurna (QS al-Baqarah [2]: 143).

Ketiga, Allah SWT juga memerintahkan kita menerapkan pemerintahan berdasarkan wahyu yang telah Dia turunkan (QS al-Baqarah [2]: 49). Ini merupakan keniscayaan, bahwa kita dan umat ini adalah pemimpin seluruh umat manusia.

Keempat, Allah SWT telah berjanji akan memenangkan agama-Nya atas semua agama yang lain (QS at-Taubah [9]: 33; QS al-Fath [48]: 28; QS ash-Shaff [61]: 9). Janji ini telah dipenuhi oleh Allah ketika Nabi Muhammad saw. masih hidup. Ketika Islam dimenangkan atas seluruh agama baik Yahudi, Nasrani, Paganisme maupun yang lain. Ketika itu ideologi belum lahir. Setelah ideologi Kapitalisme dan Sosialisme lahir, Islam memang secara politik dikalahkan, khususnya setelah Khilafah Islam dihancurkan oleh konspirasi kaum kafir, 3 Maret 1924 M. Namun, yakinlah, sesuai dengan janji Allah SWT, Islam akan kembali Dia menangkan atas seluruh ideologi yang ada di dunia. Apalagi Allah SWT pun berjanji akan memberikan kembali Kekhilafahan-Nya kepada kaum Mukmin dan orang-orang yang melakukan amal shalih, yang tidak menyekutukan Allah dengan yang lain sedikit pun (QS an-Nur [24]: 55). 

Kelima, harus ditanamkan ke dalam hati kita dan umat ini bahwa menegakkan Islam dan seluruh syariahnya dalam seluruh aspek kehidupan ini adalah wajib. Haram umat ini dan seluruh manusia diperintah dan dihukumi bukan dengan syariah Allah SWT, sebagaimana yang terjadi hari ini. Sebabnya, siapapun yang tidak memerintah dan berhukum dengan syariah-Nya bisa terkategori kafir, zalim atau fasik (Lihat: QS al-Maidah [5]: 44,45 dan 47). 

Keenam, harus ditanamkan ke dalam hati kita dan umat ini bahwa setelah semua upaya terbaik sudah dilakukan, maka berikutnya adalah urusan Allah SWT (Lihat: QS ath-Thalaq [65]: 3). Dengan kata lain, kita wajib bertawakal kepada Allah SWT dengan terus melakukan ikhtiar yang terbaik. Inilah yang menjadi hujjah kita di hadapan-Nya kelak.

WalLâhu a’lam. []

---*---

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

وَٱصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِٱللَّهِ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِى ضَيْقٍ مِّمَّا يَمْكُرُونَ - إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلَّذِينَ ٱتَّقَوا وَّٱلَّذِينَ هُم مُّحْسِنُونَ

Bersabarlah (Muhammad) dan kesabaranmu itu tidak akan terwujud kecuali dengan pertolongan Allah. Janganlah engkau bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka. Jangan (pula) bersempit dada terhadap tipudaya yang mereka rencanakan. Sungguh Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan para pelaku kebaikan. (TQS an-Nahl [16]: 127-128). []

---*---

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah226m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah226

Saturday, December 25, 2021

Haram Ucapan Selamat Natal!

*Buletin _Kaffah_ No. 224 - 19 Jumada al-Ula 1443 H/24 Desember 2021 M*

*DALAM* beberapa tahun terakhir, setiap memasuki bulan Desember, mencuat kembali perbedaan pendapat tentang ucapan Selamat Natal kepada kaum Kristiani. Ada yang menyatakan boleh. Yang lain mengatakan tidak boleh/haram. Pendapat yang râjih (benar) menurut al-Kitab, as-Sunnah dan qawl para ulama adalah tidak boleh alias haram. 


*Makna Ucapan Selamat*

Dalam bahasa Arab, ucapan selamat adalah tahni’ah. Berasal dari kata hanna’a. Lawan dari kata ta’ziyah. Hani’a bihi artinya senang/bahagia atau gembira. Hanna’a artinya as’ada (membahagiakan).

Makna tahni’ah secara istilah tidak keluar dari makna bahasanya. Dalam istilah penggunaannya, tahni’ah juga mengandung makna at-tabrîk (memohonkan keberkahan) (Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah). 

Maksud dari at-tahni’ah adalah at-tawaddud wa izhhâr as-surûr (menunjukkan kasih sayang dan menampakkan kegembiraan) dengan apa yang diperoleh oleh orang lain (Syaikh Shalih Fauzan, Al-Mulakhash al-Fiqhiy, 1/280).

Dengan demikian ucapan selamat kepada seseorang maknanya adalah ikut serta dengan dia dalam kegembiraannya dan menampakkan kegembiraannya itu. 

Makna Perayaan Natal
Makna Hari Raya Natal tentu harus dirujuk pada tuntunan agama Kristen dan kaum Kristiani. Di dalam Pesan Natal Bersama Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2019 dinyatakan, “Dengan penuh sukacita, kita merayakan pesta kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus, Raja Damai, yang datang untuk ‘merubuhkan tembok pemisah, yakni perseteruan (EF 2:14)’ yang memecah-belah umat manusia...” 

Demikian juga di dalam Pesan Natal Bersama PGI dan KWI tahun 2020 dinyatakan, “Natal adalah berita sukacita dan pewartaan cinta karena Juruselamat, Sang Raja Damai, Allah beserta kita, lahir di dunia...”

Dengan demikian makna Perayaan Natal adalah perayaan atas kelahiran Tuhan Yesus Kristus di dunia. Tidak ada makna lain dari Perayaan Natal selain ini.


*Haram Ucapan Selamat Natal*

Dengan demikian ucapan Selamat Natal mengandung makna yaitu: harapan kesejahteraan dan keberuntungan untuk kaum Kristiani dengan kelahiran Tuhan Yesus Kristus; ikut bergembira dan senang atas kelahiran Tuhan Yesus Kristus; juga pengakuan dan keridhaan terhadap kelahiran Tuhan Yesus Kristus.

Padahal Allah SWT telah berfirman:
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَٰنُ وَلَدًا ﴿٨٨﴾ لَّقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا ﴿٨٩﴾ 
_Mereka berkata, "Tuhan Yang Maha Pemurah mempunyai anak." Sungguh kalian telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar_ (TQS Maryam [19]: 90-92).

Karena itu Allah SWT menegaskan kekafiran kaum Nasrani:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ 
_Sungguh telah kafirlah orang-orang yang berkata, "Sungguh Allah itu adalah Al-Masih putra Maryam."_ (TQS al-Maidah [5]: 72).

لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِن لَّمْ يَنتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿٧٣﴾ أَفَلَا يَتُوبُونَ إِلَى اللَّهِ وَيَسْتَغْفِرُونَهُ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
_Sungguh kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah seorang dari yang tiga. Padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Lalu mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang_ (TQS al-Maidah [5]: 73-74).


Pemberian ucapan Selamat Natal jelas bertentangan dengan di atas. Yang seharusnya diserukan kepada mereka, sebagaimana dalam QS al-Maidah ayat 73-74 di atas, adalah agar mereka bertobat dan memohon ampunan kepada Allah SWT. Tentu saja hal itu dengan meninggalkan kekufuran mereka dan masuk Islam. Bukan malah memberikan ucapan selamat yang di dalamnya terkandung makna ikut bergembira serta pengakuan dan keridhaan terhadap kekufuran mereka.

Allah SWT telah memberitahukan (yang artinya): _Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya_ (TQS az-Zumar: 7). 

Jika Allah murka dan tidak meridhai kekafiran seorang pun, maka kita pun tentu tidak boleh meridhai kekafiran mereka. Sebabnya, meridhai kekafiran orang lain berarti meridhai apa yang Allah tidak ridhai. Ini tidak boleh/haram. 

Hari Raya Natal, sesuai ayat di atas, jelas merupakan hari raya keyakinan kufur dan perayaan kekafiran. Lalu bagaimana mungkin seorang Muslim yang berkeyakinan tauhid memberikan ucapan selamat atas perayaan kekafiran dan kesyirikan? Dari sini jelas bahwa ucapan Selamat Natal adalah haram dilakukan oleh seorang Muslim.

Di dalam ucapan Selamat Natal (termasuk ucapan Selamat Hari Raya kaum kafir lainnya) juga terdapat unsur tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan yang dilarang oleh Allah SWT (Lihat: QS al-Maidah [5]: 2). 

Tentu saja ini dilarang dalam Islam dan haram hukumnya.
Allah SWT pun berfirman:
﴿وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا﴾
_Orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan jika mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lewat (begitu saja) dengan menjaga kehormatan diri mereka_ (TQS al-Furqan [25]: 72).

Az-Zûr itu meliputi semua bentuk kebatilan. Yang terbesar adalah syirik dan mengagungkan sekutu Allah. Karena itu Imam Ibnu Katsir —mengutip Abu al-‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin Sirrin, adh-Dhahhak, ar-Rabi’ bin Anas dan lainnya—menyatakan bahwa az-zûr  adalah hari raya kaum musyrik (Tafsir Ibnu Katsîr, III/1346).

Ibnu ‘Abbas ra., menjelaskan, makna yasyhadûna az-zûra adalah menyaksikan hari raya kaum musyrik, termasuk dalam konteks larangan ayat ini adalah mengikuti hari raya mereka.

Ayat ini melarang partisipasi dalam hari raya orang kafir; baik dorongan, persetujuan dan dukungan langsung ataupun tidak langsung. Di dalam ucapan selamat Hari Raya Natal jelas terkandung semua itu. Dari sini pun jelas bahwa ucapan selamat Hari Raya Natal adalah haram. 

Ucapan Selamat Natal juga termasuk syiar agama mereka. Jika kita turut mengucapkannya, berarti kita menyerupai mereka. Padahal Rasul saw. tegas melarang yang demikian:
«مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ»
_Siapa saja yang menyerupai suatu kaum maka dia bagian dari mereka_ (HR Abu Dawud dan Ahmad).

*Ijmak Ulama*

Keharaman mengucapkan Selamat Natal telah menjadi ijmak (disepakati) para ulama. Bahkan para ulama menyatakan, orang yang mengucapkan selamat hari raya kepada orang kafir layak dijatuhi hukuman ta’zîr. 

Imam Kamaluddin ad-Damiri (w. 808 H) di An-Najmu al-Wahhâb fî Syarhi al-Minhâj mengatakan, “Dijatuhi sanksi ta’zîr orang yang menyamai kaum kafir dalam hari raya mereka...dan orang yang berkata kepada dzimmi, ‘Ya Haj,’ juga orang yang memberikan selamat hari raya.” 

Imam Syihab Ahmad ar-Ramli asy-Syafii (w. 957 H), di dalam Hasyihah ar-Ramli ‘ala Asna al-Mathâlib, mengatakan, “Dijatuhi sanksi ta’zîr orang yang menyamai kaum kafir dalam hari raya mereka...juga orang yang memberikan selamat hari raya kepada mereka.”

Hal yang sama juga dikatakan oleh al-Khathib asy-Syarbini (w/ 977 H) di dalam Mughni al-Muhtâj, Imam al-Qalyubi (w.1069 H) di dalam Hasyiyah al-Qalyûbî ‘alâ Syarhi al-Jalâl ‘alâ a-Minhâj, Syaikh Sulaiman al-Jumal (w. 1204 H) di dalam Hasyiyah al-Jumal ‘alâ Syarhi al-Minhâj, Syaikh Abdul Hamid asy-Syarwani di dalam Hasyiyah at-Tuhfah, al-‘allamah ‘Alawi bin Ahmad as-Saqaf (w. 1335 H) di dalam Tarsyîh al-Mustafîdin Hasyiyah Fathu al-Mu’în dan Syaikh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi di dalam Hasyiyah I’ânah ath-Thâlibîn ‘alâ Fathi al-Mu’în.


*Menolak Syubhat*

Memang ada sebagian yang membolehkan ucapan Selamat Natal kepada orang Nashrani yang tidak memerangi kaum Muslim. Mereka berdalil dengan QS al-Mumtahanah ayat 8, dengan menganggap itu bagain dari al-birr (kebaikan) yang disyariatkan di dalam ayat tersebut. Ini jelas keliru. Sebabnya, meski al-birr (kebaikan) bersifat umum dan dapat mencakup ucapan selamat, keumuman ini di-takhshîsh dengan larangan tasyabbuh bi al-kuffâr. 

Begitu pula argumentasi dengan riwayat Anas bin Malik ra. yang berkata: Ada anak Yahudi yang sering melayani Nabi saw., lalu dia sakit. Nabi saw. pun mejenguk dia. Beliau duduk di dekat anak itu, lalu berkata, “Masuk Islamlah.” Anak itu melihat ke arah ayahnya di dekatnya. Ayahnya berkata, “Taatilah Abul Qasim (Nabi saw). Anak itu pun masuk Islam. Lalu Nabi saw keluar dan berkata, “Segala pujian milik Allah yang telah menyelamatkan dia dari neraka.” (HR al-Bukhari). 

Dalam hadis di atas, Nabi saw. mencontohkan untuk berbuat baik kepada non-Muslim. Karena itu, menurut mereka, mengucapkan Selamat Natal merupakan bagian perbuatan baik kepada kaum Nasrani, yang hukumnya juga boleh, selama tidak menganggu akidah dan tidak mendukung keyakinan mereka tentang kebenaran peristiwa Natal.

Argumentasi dengan hadis di atas jelas tidak pada tempatnya. Justru di situ contoh perbuatan baik Nabi saw. adalah mengajak non-Muslim masuk Islam. Ini sejalan dengan apa yang dinyatakan di dalam QS al-Maidah ayat 73-74. Bukan malah mengucapkan Selamat Natal.

Namun demikian, kita tetap harus berbuat baik dan berlaku adil kepada non-Muslim, dalam muamalah, bertetangga dan interaksi lainnya yang memang dibolehkan syariah. WalLâh a’lam wa ahkam. []


*_Hikmah:_*

Sayidina Umar bin al-Khaththab ra. berkata:
اِجْتَنِبُوْا اَعْدَاءَ اللهِ الْيَهُوْدَ وَ النَّصَارَى يَوْمَ جَمْعِهِمْ فِي عِيْدِهِمْ، فَإِنَّ السُّخْطَ يَنْزِلُ عَلَيْهِمْ فَأَخْشَى أَنْ يُصِيْبَكُمْ
_Jauhilah oleh kalian musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi dan Nasrani saat mereka berkumpul pada Hari Raya mereka. Sungguh saat itu murka (Allah SWT) turun kepada mereka dan aku takut hal itu juga akan menimpa kalian._
(HR al-Baihaqi). []

Tuesday, June 5, 2012

Blogger Styles 13 Jan 2011


Blogger Styles



Posted: 13 Jan 2011 08:23 AM PST
Posted: 13 Jan 2011 08:18 AM PST

Blogger Styles 21 Jan 2011


Blogger Styles



Posted: 21 Jan 2011 09:02 AM PST
Posted: 21 Jan 2011 08:57 AM PST

Blogger Styles 01 Dec 2010


Blogger Styles



Posted: 01 Dec 2010 09:19 AM PST
Posted: 01 Dec 2010 09:15 AM PST